Thursday, July 30, 2015

Sudah Tau Kampung Pedagang WARTEG Jakarta di Tegal Belum, Gan?

[PIC] Kampung Pedagang WARTEG Jakarta di Tegal yang bak Perumahan Pondok Indah
Lihat Nih, Megahnya Kampung Pedagang Warteg di Tegal, Semua Rumah Mewah!
Rabu, 29 Juli 2015 , 06:14:00


Rumah mewah milik penjual warteg yang merantau di Jakarta. FOTO: RADAR TEGAL


Perkampungan Pengusaha Warteg Terlihat Mewah, Liputan6.com


Seorang warga melihat salah satu rumah megah milik pedagang warung Tegal (warteg) di Desa Sidokaton, Kecamatan Dukuhturi, Tegal, 22 Maret 2015. Rumah megah itu ditinggal pemiliknya merantau ke Jakarta dan hanya dihuni tiap menjelang Hari Raya Idul Fitri. TEMPO/Dinda Leo Listy


ORANG yang baru menginjak di Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pasti akan berdecak kagum. Di dua desa tersebut, hampir semua bangunan rumah warga megah dan mewah.

Halamannya pun luas dan dilengkapi taman. Sayangnya, rumah itu kerap kosong dan hanya dihuni orang tua yang sudah berumur. Ya, kebanyakan rumah mewah itu milik para pedagang warteg yang merantau di kota-kota besar.

''Ramainya kalau Lebaran saja. Sekarang sudah sepi lagi,'' kata Faizin, salah seorang pedagang warteg, kemarin.

Kepala Desa Sidapurna, Kecamatan Dukuhturi, itu menuturkan, selama ditinggal merantau, rumah-rumah mewah tersebut hanya dihuni orang tua atau saudara si empunya rumah. Tidak sedikit pula rumah mewah yang dibiarkan kosong hingga rumput liar tumbuh subur di halamannya.

''Sebagian kecil sertifikat rumah mewah itu dijaminkan untuk pinjaman di bank,'' ujar Faizin.

Menurut dia, sertifikat rumah-rumah itu biasanya dijadikan jaminan di bank karena kondisi pedagang warteg sedang paceklik. Kondisi itu diawali dari harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta yang mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per tahun.

Selain harga sewa bangunan yang terus melambung, pedagang warteg kewalahan mencari karyawan (pembantu masak). ''Sidakaton dan Sidapurna adalah dua desa yang bergandengan dan dikenal sebagai kampung warteg,'' ucapnya.

Sejak 1970-an, lanjut Faizin, warga di dua desa itu merantau ke Jakarta untuk membuka warung kecil-kecilan. Saat itu, warga perantau hanya menjual makanan kecil dan gorengan.

''Belum menyediakan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya,'' ujar Faizin.

Warteg, ungkap dia, mengalami kejayaan pada 1980-1990. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah.

Hingga kini, di antara sekitar 10 ribu warga Desa Sidapurna, 50 persen masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta-Rp 5 juta per hari.

Dengan besarnya penghasilan itu, sebagian pedagang warteg bisa membangun rumah di kampung. Biaya yang dihabiskan rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.

''Sebanyak 500 di antara 2.000 rumah di Sidapurna adalah rumah mewah,'' terang Faizin.

Ketua Umum Pusat Koperasi Warung Tegal (Puskowarteg) Jaya Sastoro saat dihubungi menambahkan, pedagang warteg di Jakarta saat ini tertekan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok setelah kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada 2014.

''Kami tidak bisa asal menaikkan harga menu. Sebab, pelanggan warteg itu rakyat kecil,'' jelasnya.

Sistem pengelolaan warteg juga termasuk unik. Ada yang setiap tiga bulan hingga empat bulan dikelola secara bergantian.

Hanya, yang mengelola tersebut masih ada hubungan keluarga. Sehingga, rezeki masih berputar di antara mereka.

Makanan yang ditawarkan cukup sederhana karena seperti masakan rumahan. Ada sayur lodeh, sup, tumis, tahu, tempe, telor goreng atau rebus dan juga ayam goreng.

Sementara, minumannya teh manis, es teh, maupun es jeruk paling banyak dijumpai. Belum lagi ada pisang goreng maupun tahu isi.

Selain mampu membangun rumah mewah, beberapa pemilik warteg di Jakarta bisa juga menjalankan ibadah haji. Namun, biasanya, mereka itu sudah melakoni bisnis tersebut sudah lama.

Mayoritas warga Jakarta yang memang berasal dari kampung merupakan satu alasan banyaknya pengunjung warteg. Sehingga, bisnis warteg dianggap sebuah hal yang menjanjikan untuk mengais rupiah.

Sayang, bisnis warteg belum merambah ke kota lain. Mereka masih berkutat di Jakarta.

Di ibu kota, jumlahnya bisa mencapai ribuan dan tersebar di berbagai pelosok. Bahkan, tak ada 100 meter, sudah berdiri warung sejenis.

Sementara, di kota besar lainnya seperti Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara) maupun Makassar (Sulawesi Selatan) kurang berkembang.
http://www.jpnn.com/read/2015/07/29/...-Rumah-Mewah!-


Heboh Warteg: Pelayan Cantik Sasa Bisa Beli Tas Mahal
SENIN, 30 MARET 2015 | 05:53 WIB


Sasa Darfika, pelayan warteg yang cantik. facebook.com

TEMPO.CO, Majalengka - Menjadi pelayan dengan predikat cantik di warung Tegal (warteg) milik orang tuanya di sisi Jalan Parapatan Raya, Majalengka, Sasa Darfika, 21 tahun, punya hobi berbelanja. Sebulan dua kali, Sasa sanggup membeli barang seharga total Rp 1,5-2 juta lebih.

Menurut Sasa, ia suka belanja koleksi tas, sepatu, dan pakaian dari toko di mal Cirebon atau Tegal. Mereknya seperti Gosh, Prada, dan parfum Calvin Klein.

Bersama ayah atau ibunya yang membuka warteg sejak 1993, uang belanja barang itu disebutnya bonus dari hasil kerja melayani pembeli di warteg. "Mau punya itu setelah lihat di Instagram artis," kata Sasa, yang nge-fans kepada artis Pevita Pearce, beberapa waktu lalu.

Popularitas Sasa sebagai gadis pelayan cantik mendongkrak penghasilan warteg orang tuanya. "Sebulan ini omzet naik sekitar 30 persen," kata orang tua Sasa, Darpi. Warteg yang buka setiap hari selama 24 jam itu rata-rata melayani 300 orang lebih setiap hari.

Sejak lulus SMAN 5 Tegal, Jawa Tengah, pada 2012, Sasa memilih sekolah kebidanan atas saran kawannya yang anak bidan. Pilihan tersebut diambilnya setelah gagal lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri di kampus pendidikan guru di Solo dan Semarang. "Tadinya mau jadi guru bahasa Inggris atau geografi," kata Sasa.

Saat sekolah kebidanan dan praktek di sejumlah rumah sakit di luar kota, ia sering ketakutan saat bagian piket malam. Apalagi ketika harus ikut mengurus pasien yang meninggal. "Waktu membawa mayat ke ambulans, takutnya bangun lagi seperti di film horor," ujarnya.

Tiap kali ketakutan, ia tak berani pulang ke tempat kos, melainkan ke rumah keluarganya. Selain itu, ia merasa tak betah bekerja sebagai bidan di rumah sakit. Akhirnya, pada semester baru awal 2014, Sasa memutuskan berhenti kuliah dan menjadi pelayan di warteg orang tuanya.

Sampai saat ini, ia belum memutuskan untuk kuliah lagi. Ia lebih tertarik menjadi penjual barang di Internet.
http://nasional.tempo.co/read/news/2...beli-tas-mahal


Ini Dia Foto-foto Sasa Darfika, Gadis Cantik Si Pelayan Warteg
Senin, 12 Januari 2015 14:38






MAJALENGKA, TRIBUN - Nama Sasa Darfika (21) langsung terkenal begitu seseorang mengunggah fotonya ke sosial media. Sasa pun menjadi perhatian nitizen karena profesinya yang dianggap tidak lazim.

Sasa, gadis berparas cantik dengan kulit bersih dan tubuh tinggi ramping memilih menjadi pelayan warteg di Jalan Raya Parapatan, Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Majalengka. Profesi ini sudah dilakoninya setahun lebih.

Berikut aktivitas Sasa yang terekam kamera saat melayani pembeli di warteg tempatnya bekerja, Senin (12/1/2015). Tanpa canggung, dia melayani satu per satu pembeli yang datang ke wartegnya.
http://jabar.tribunnews.com/2015/01/...pelayan-warteg

---------------------------------------





Makanannya enak, murah-meriah, makanya orang seperti jokowi pun bisa menikmatinya. Mirip warung padang. Kenapa tidak coba dikemas untuk 'go Internasional' saja?

No comments:

Post a Comment